Rabu, 19 Januari 2011

Serunya Ngayogjazz di Pondok Pekik

Musik jazz cenderung dianggap sebagai musik ekslusif. Walaupun asal mulanya justru musik jenis ini tumbuh dan berkembang dari masyarakat kelas bawah. Tapi saya disini bukan untuk membahas tentang teori jazz dan asal muasalnya tetapi lebih pada kenikmatan saat menyaksikan pertunjukkan malam minggu kemarin.

Liburan weekend kemarin adalah waktu yang paling ditunggu2 seumur hidup. Akhirnya setelah sekian bulan tertunda karena bencana Merapi, akhirnya “Ngayogjazz” alias festival jazznya orang jogja, kembali digelar. Festival tahunan ini dengan tagline “Mangan ra mangan ya ngejazz”. Sekilas terkesan lebay. Tapi filosofi ini sungguh tepat dikenakan bagi para pencinta dan penikmat jazz khususnya di kota gudeg, mengingat komunitas penikmat jazz di Indonesia khususnya di Yogjakarta masih minoritas tetapi mereka cukup eksis. Tentu karena semangat solidaritasnya itu.

Pagelaran yang dihelat selama hampir 12 jam mulai dari Sabtu, 15 Januari 2011 pukul 2 siang, hingga hari minggu pukul 1 dini hari cukup mendatangkan animo masyarakat. Ajang ini juga menjadi salah satu tujuan wisata tahunan di Yogya sehingga tak heran, wisatawan domestik dan bule-bule tumplek blek jadi satu di sini.

Ajang ini tidak diadakan di ruang-ruang sekelas bintang 5 tetapi cukup di tengah-tengah pemukiman penduduk, seperti mengusung tema bermain jazz dalam suasana pedesaan. Ngayogjazz tahun 2011 ini diadakan di pekarangan semi hutan yang merupakan kediaman seniman terkenal jogja, Djoko Pekik, di Dusun Sembungan, Kecamatan Kasihan Bantul Yogyakarta. Pekarangan yang tergolong luas itu disulap menjadi lokasi panggung-panggung terpisah yang mungkin hampir sama konsepnya dengan panggung-panggung di java jazz. Ada 3 panggung yang disediakan yaitu Panggung Tambur, Panggung Siter dan yang terjauh yaitu Panggung Slompret.

Jalan menuju lokasi cukup sempit sehingga para pengunjung terutama yang bermobil harus memarkir kendaraannya hingga jarak hampir 800m-an dari lokasi dan melanjutkan dengan berjalan kaki.

Sayang, cuaca kurang bersahabat. Setelah maghrib, gerimis mulai turun hingga bulir-bulir sebesar jagung. Ajaibnya, ini tidak menurunkan animo wisatawan untuk menyaksikan pertunjukkan hingga pagi. Saya sendiri meskipun kaki pegal-pegal karena harus nonton sambil berdiri berjam-jam, masih semangat lari dari satu panggung ke panggung yang lain, padahal harus melewati jalan becek berbukit-bukit, penuh semak belukar dengan penerangan minim, mirip hutan tempat kemping, hanya untuk menyaksikan para seniman jazz memainkan nomor2 cantiknya. Perlengkapan perang yang saya bawa tentu saja kamera poket & jas hujan.

Agak menyesel juga karena tidak melihat festival ini dari jam 2 siang. Kesibukan bersih2 rumah cukup menyita waktu dan tenaga sehingga baru bisa tiba dilokasi tepat pukul 7 malam dan langsung penuju panggung Siter, bertepatan dengan lagu terakhir dimainkan oleh Tohpati featuring Riza Arshad dari Kelompok Simak Dialog.  Duh, begitu mendengar komposisi terakhir yang dimainkan, wuiih…speechless, keren banget. Mendengar alunan jazz di tengah hutan, berbecek-becek dan hujan-hujanan lagi, ya baru kali ini nih.

Selain seniman2 jazz, yang menarik dilihat adalah aksi-aksi para MCnya. Kocak2 dan mampu membuat suasana yang sedang hujan dan mungkin membetekan menjadi gayeng lagi. Di panggung Siter saja ada MC (ini juga aku baru kenal namanya dan agak menggelikan) Mr. Alit Jabang Bayi dan Mr Gepeng Kesana Kesini. Ini suer nama MC-nya loh. Dan sesuai nama panggungnya yang kocak, aksi banyolannya juga bikin ngakak sampai gigi garing :D.

Kalau di panggung tambur ada MC Jay, Simbah dan Hendro Pleret. Nah MC ini wajahnya lumayan kenal, sering lihat tiap senin malam di Jazz Mben Senen di Benthara Budaya. Kemudian ada Lusi Laksita & Bambang Gundul di panggung Slompret. Wah ini sepertinya MC senior di jogja. Lumayan kocak juga.
Setelah permainan tohpati dan  Riza Arshad dari Grup Simak Dialog di panggung Siter, ada satu seniman jogja yang juga aksi panggungnya gayeng abis, Pak Sujud. Bisa dibilang dia salah satu legenda perkusion di jogja. Aksinya hanya ditemani gendang, suaranya sendiri serta lirik lagu yg humoris, baik berbahasa jawa maupun Indonesia. Sebetulnya musik mr Sujud kurang bisa dikatakan aliran jazz, tetapi itulah uniknya nonton festival jazz di Ngayogjazz, aliran kesenian apapun bebas berekspresi di sini.

Sayangnya, setelah menyimak dan ketawa ketiwi di beberapa lagu, saya mulai bosan dan tertarik untuk melihat aksi di Panggung Slompret yang suara musiknya mulai menggoda telinga. Ternyata sedang ada jam session dari wajah 2 yang sering saya lihat setiap menyaksikan Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Jogja. Agak lupa namanya tapi yang jelas setelah itu mereka juga mengiringi mbak Iga Mawarni melantunkan nomor2 cantiknya seperti Kasmaran dan Lelah. Aransemennya dikemas berbeda daripada versi kaset. Yah, sekali lagi itulah uniknya jazz apalagi di panggung. Aransemennya bisa beda abis dari yang sudah pernah didengar sebelumnya.

Mendengar alunan Jazz Smooth seperti yang dilantunkan Mba Iga, pasnya memang bersama pasangan. Apalagi hujan rintik-rintik  yang mulai turun..deuu…romantic banget deh.Sekali lagi sayangnya cuaca kurang bersahabat, lokasi penonton tidak bisa dipakai buat duduk, becek bo’. Jadi kaki harus kuat berdiri berjam2 supaya bisa melihat performnya artis2 jazz di atas panggung sana. Kalau tidak berdiri, pasti terhalang payung2. Berdiri saja masih celingak celinguk apalagi duduk.

Setelah dua tiga nomor lagu, lagi2 kuping saya tergoda mendengar alunan musik dari panggung Siter yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari Panggung Slompret. Dengan semangat 45, saya langkahkan kaki menuju ke sana. Tadinya saya berharap untuk bisa segera melihat Syaharani, ternyata yang main kelompok “Folk Song” Chaseiro. Tapi ini juga tidak jelek. Bagi generasi gaul era 70 – 80 an pasti cukup mengenal grup musik dan vokal dari Kampus UI yang pernah mengeluarkan lagu hitsnya seperti Pemuda, Dara, Rio De Janeiro dan lainnya. Kalau saya sendiri cukup familiar dengan lagu Pemuda. Yang mengesankan adalah paduan harmoni suara dari masing2 personelnya, ciamik banget. Vokalnya jernih dan sangat fit, apalagi  untuk grup senior seperti mereka. Jangan kira penontonnya hanya dari generasi 80an, generasi millennium lewat juga membludak di depan panggung. Setiap kali Chaseiro menyelesaikan satu lagu, tepuk tangan penonton selalu membahana.

Berhubung telinga saya tergoda lagi dengan aksi di panggung sebelah, jalan lagi deh saya ke panggung Slompret. Wuah, ada Mas Danny Bass Project. Mas ini kalau mainin bass jempolan banget. Bass 6 senar dimainkan layaknya memainkan melodi gitar. Keren deh. Menginjak lagu ke 2 dan ketiga, komposisi yang dimainkan mulai agak rumit di telinga saya. Bagus sih, ditambah 2 penari jawa dan gending-gending, hanya saja mungkin bukan aliran saya sehingga kurang bisa menikmati..hehehe. Beruntung saya segera mendengar suara Syaharani di panggung Siter. Lari lagi deh ke sana. Ternyata depan panggung sudah full booked. Saya berusaha blusukan cari tempat di depan, ah malah sumpek. Akhirnya lari ke samping panggung. Lumayan longgar dan bisa dapat foto2 close yang lebih jelas.

Syaharani tampil bersama dengan the Quennfireworks, lebih disapa dengan ESQI:EF. Melodinya lebih groovy, enak buat goyang. Ditambah aksi panggung Syaharani yang sangat ekspresif dan tidak takut jelek (asline mba’e ayu tenan), mampu menghipnotis para penonton untuk selalu bergoyang.

Yah mungkin karena terlalu semangat, jalan, berdiri, jalan lagi, berdiri lagi, betis yang sudah cenut-cenut semakin berat. Terpaksa di lagu ke sekian dari syaharani saya dan adik yang ikut menonton menyingkir perlahan-lahan dari depan panggung. Kami berjalan ke barisan belakang, cari apalagi kalau bukan tempat duduk. Dapat juga, pas dibawah baliho Ngayogjazz.

Belum ada 10 menit duduk, eh lewat kereta kelinci. Apa menariknya coba? Saya belum begitu dong hingga saya melihat banyak orang berbondong2 ikut jalan di belakang kereta dan mereka terlihat terburu2. Spontan saya teriak “EEEH…GLEEENN”, padahal saya tidak melihat satupun wajah Glen disana. Yang saya maksud tentu saja Glenn Fredly karena dia termasuk pengisi acara yang jadwal manggungnya paling malam. Berhubung penasaran dengan keanehan orang2 yang membeo di belakang kereta, saya bersama adik ikutan berjalan di belakang mereka sambil berusaha menyalip-nyalip, mirip balapan motor di sirkuit.

Begitu kereta berhenti, pas di samping panggung Slompret, orang-orang yang berbondong-bondong tadi langsung jeprat jepret dan moncong kamera poket mereka mengarah ke dalam kereta. Emang siapa sih yang difoto? Tanpa pikir panjang, tangan saya otomatis merogoh kamera dari dalam tas dan ikutan menyalakan kamera walau belum tahu mau memfoto siapa. Begitu berada di samping kereta, eh benar, terlihat wajah mas Glenn di sana. Lumayan berdesakan di samping kereta dan saya cukup beruntung berhasil mengclose-up wajahnya tanpa terhalang kepala orang lain.

Satu bidikan saja sudah cukup karena saya mulai berkonsentrasi untuk mencari tempat strategis di depan panggung, karena sebentar lagi mas Glenn mau tampil. Wuih, ternyata sudah penuh. Ke depan, ke samping, ke depan lagi, no place to stand. Setelah berusaha lagi, dapat juga tempat berdiri yang terus terang kurang strategis, di belakang kameramen. Dan orang-orang di depan saya lebih tinggi dari saya. Berhubung masih penasaran, masak ga bisa sih dapat tempat di depan. Akhirnya saya nyelonong sendirian blusukan persis ke samping panggung. Adik saya sendiri sudah nyaman di posisinya yang terlindung di bawah pohon, aman tidak terkena hujan,karena menjelang lagu pertama Glenn dimulai, hujan mulai deras lagi.

Ternyata pilihan saya cukup tepat. Meskipun dari samping, aksi panggung Glenn cukup terlihat jelas. Bidikan2 foto juga hasilnya lumayan, minimal tidak ada noise dari kepala-kepala atau tangan-tangan orang lain.

Lagu-lagu yang dibawakan cukup populer dan di sepanjang pertunjukkan suara penonton hampir selalu terdengar ikut menyanyikan lagu-lagu Glenn Fredly.  Satu nomor yang saya paling suka adalah “Tega” dari albumnya “Aku & Wanita”. Sepertinya hanya lagu ini yg agak smooth, lainnya cukup asyik dibuat ajojing.

Baik Glenn maupun personil band pengiringnya terlihat sangat menikmati permainan mereka sendiri. Seolah-olah seperti bermain-main, improvisasinya terdengar spontan namun rapih. Dan diantara personel band pengiring Glenn, satu yang menarik perhatian saya adalah peniup saxophonenya. Di telinga saya tiupannya maut banget dan ekspresif. Badannya tambun tapi begitu dipanggung, gayanya lincah sekali. Tidak heran hampir semua penonton ikut bergoyang bila lagu nge-beat yang dimainkan.

Rasanya waktu berlalu dengan cepat dan sepertinya lagu-lagu yang dibawakan hanya sedikit. Tak terasa sudah masuk pukul 1 dini hari. Tepat lewat 10 menit, pertunjukkan berakhir tanpa rasa kantuk. Sepanjang perjalanan pulang, lagu2 Glenn masih terngiang-ngiang dan sambil berkendara, saya menyanyi keras2 lagu2 Glenn yang saya hapal. Mumpung jalanan sudah sepi..hehehe. Mudah2an Ngayogjazz tahun dpn, saya masih punya kesempatan untuk datang ke sana lagi, dan mudah2an teman nonton saya tidak hanya adik, tapi juga suami:D. Minimal ada yg dipeluk kalau pas dimainkan lagu2 romantis, tidak seperti kemarin, masak pelukan sama pohon?..kqkqkq…




Tidak ada komentar: